AMMATOA, PEMIMPIN SUKU KAJANG

6 05 2008

Dongeng yang berkembang di tengah komunitas suku Kajang; dulu langit dan bumi menyatu berbentuk tetampah (pattapi). Ketika manusia pertama (mula tauna) muncul di tempat ini, langit dan bumi terpisah. Peristiwa itulah yang mengilhami penamaan “kajang” yang berarti “memisahkan”. Beberapa artefak dan andesit di tempat ini menunjukkan, kawasan ini pernah menjadi sentral upacara adat suku Kajang.

Suku Kajang bermukim di areal pemukiman di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba – sekitar 250 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam dua kelompok; suku Kajang Luar dan suku Kajang Dalam.

Suku Kajang Dalam mendiami tujuh dusun di dalam lingkungan Desa Tana Toa. Pusat kegiatan komunitas adatnya berada di Dusun Benteng. Rumah Ammatoa (pemimpin adat suku Kajang) juga berada di tempat ini; sebuah rumah panggung yang seluruh bagiannya dibuat dari bahan kayu. Bangunan sederhana yang menjadi simbol prinsif kesederhanaan.

Sejak dipilih sebagai pemimpin adat, Ammatoa memang harus memperlihatkan simbol-simbol kesederhanaan itu. Ia harus tinggalkan pernik-pernik kehidupan mewah dan modern, dan memberi teladan kepada warganya; bagaimana seharusnya pemimpin bersikap dan berprilaku di setiap bidang kehidupan. Setiap hari, ia harus memakai pakaian adat suku Kajang; baju, kain, dan ikat kepala, berwarna hitam. Dulu, seluruh warga suku Kajang berpakaian seperti itu. Ada makna filosofis di balik pilihan warna ini – simbol kesederhanaan, sisi gelap, dan peringatan akan kematian.

Di saat sekarang, hanya Ammatoa dan para pemuka adat yang tetap berpakaian hitam dan menjauhi kehidupan modern. Sementara warga suku Kajang lain hanya mengenakan pakaian adat di upacara adat atau menghadap Ammatoa.

Warga suku Kajang percaya, Ammatoa merupakan orang yang dipilih oleh Turie A’ra’na (Yang Mahakuasa) sebagai pembimbing dan pengarah kehidupan sesuai Pandangan Patuntung. Sehingga, mereka pun benar-benar menjaga kesucian tokoh adat itu. Dan, tidak seorang pun diperkenankan merekam wajahnya. Pantangan terbesar di lingkungan Tana Toa.

Suku Kajang disebut-sebut beragama Patuntung atau tuntunan. Belakangan, mereka juga memeluk agama Islam. Namun pada prakteknya, cara hidup dengan Pandangan Panuntung yang mengkiblatkan diri pada Passang Ri Kajang (pesan-pesan suku Kajang), yang dijadikan pijakan. Yakni, prinsif hidup prihatin dan apa adanya atau kesederhanaan (kemase-masae). []


Aksi

Information

Tinggalkan komentar