SAIDI, PUANG MATOWA BISSU

5 05 2008

Pada zamannya, Bissu memiliki tempat terhormat di tengah masyarakat suku Bugis. Karena, selain pemimpin religius dengan segala kemampuan supranaturalnya, ia juga merupakan penasihat raja. Maka, status sosialnya pun melambung ke angkasa. Dan, hal itu membuat kalangan waria (calabai) atau kalangan gender bissu sendiri, tidak merasa jengah untuk bergabung dengan komunitas tersebut.

Bissu bukan hanya simbol sistem budaya yang berkembang di pulau Sulawesi tempo dulu. Tapi, ia juga merupakan bukti adanya keyakinan praislam yang dianut warga suku Bugis. Bahkan, ketika Islam diperkenalkan dan menjadi keyakinan utama seluruh lapisan masyarakat, Bissu tetap menjadi tempat. Bahkan, ketika gempuran fanatik DI/TII pimpinan Kahar Muzakar mengancam kelangsungan komunitas itu pada tahun 60-an, diam-diam Bissu tetap mendapat perlindungan. Buktinya, hingga kini kalangan Bissu tetap diterima secara budaya dan keyakinan. Satu sisi masyarakat memeluk Islam secara taat, tapi di sisi lain mereka kerap berhubungan dengan Bissu dengan berbagai tujuan. Sinkretisme, maksudnya.

Sejarah mendebarkan kejayaan dan kehancuran Komunitas Bissu itu benar-benar dijalani seorang Saidi. Karena hal itulah, ketika kita membicarakan Komunitas Bissu, maka kalangan peneliti atau antropolog biasanya langsung memghubungkannya dengan sang Puang Matowa Saidi.

Sesuai suratan hidup, perjalanan waktu pun perlahan-lahan membimbingnya memasuki “ruang” Bissu. Konsekuensinya, ia pun mesti meninggalkan seluruh simbol dan gairah keperempuanannya. Karena, ia pun merasa ditakdirkan untuk merengkuh gender diri yang sebenarnya, yakni bissu. Kesadaran itulah yang membuatnya tidak pernah berpikir terlalu lama, untuk menekadkan diri menjadi Bissu Lolo.

Singkat cerita, ia pun menjadi Bissu. Seiring dengan itu, kemuliaan dan kejayaan menaburi kehidupannya. Masa keemasan sebagai “orang istana” memang memberikan kebanggaan tersendiri baginya. Karena, kenyataan membuktikan, ia telah menjadi kaum “waria” terhormat. Sehingga, sebagai “lelaki”, ia pun tidak perlu bekerja keras di sawah atau di ladang. Fasilitas kependetaan itu memberikan kehormatan dan materi yang memadai pada zamannya.

Petaka gempuran kelompok DI/TII, akhirnya ikut menghancurkan surganya. Ia termasuk orang yang diburu, untuk dimurnikan keislaman dan diberangus kesyirikannya, sekaligus dinaturalkan kelelakiannya. Rambut panjangnya dipotong habis. Bahkan, ia pun harus meraih cangkul dan pergi ke sawah. Tidak ada lagi calabai, calalai, atau bissu. Karena, Islam hanya mengenal lelaki atau perempuan. Maka, masa keemasan sang Bissu pun berakhir sudah.

Benarkah cerita tentang Saidi sudah habis?

Kenyataannya, ternyata tidak begitu. Saidi tetap Saidi. Sang Bissu tetap sang Bissu. Dalam keadaan apa pun, ia tetap menjaga peran dan anugerah bissu. Untungnya lagi, masyarakat di lingkungannya pun ternyata tidak bisa memisahkan diri dari “kebesaran” para leluhur. Sehingga, Bissu pun senantiasa mendapat tempat. Meskipun di ruang yang sudah semakin sempit.

Kesungguhan Saidi menjaga kebissuannya, pada akhirnya berbuah mutiara. Bergesernya waktu, beralihnya zaman ke masa yang lebih terbuka, dan kebutuhan untuk mengakui warisan budaya, maka posisi Bissu pun melonjak kembali. Bahkan, Saidi diangkat sebagai Puang Matowa Bissu – posisi tertinggi dalam Komunitas Bissu Segeri. Sebagai Duta Budaya, ia pun disertakan dalam pementasan teater “La Galigo” di berbagai negara. Sebagai pendeta, ia pun tidak ragu-ragu lagi memimpin ritual-ritual yang masih dipelihara masyarakat suku Bugis. Dengan begitu, rona sinkretisme pun diperlihatkannya secara sempurna dan tanpa keraguan.

Ia kubur cerita pahit penghinaan teman-teman dan masyarakat, ketika ia menampilkan kewariaannya di masa remaja. Ia tutup cerita buruk pemberangusan Komunitas Bissu dan perlakukan buruk terhadapnya pada masa DI/TII dulu. Tapi, ia kuatkan hati untuk terus menapaki kebissuannya.[]


Aksi

Information

Tinggalkan komentar