PAK KATAK, WARGA SUKU TALANG MAMAK

7 05 2008

Suku Talang Mamak merupakan satu dari suku-suku terasing yang mendiami wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh di perbatasan provisi Riau dan Jambi. Masyarakat adat tersebut tergolong Proto Melayu atau Melayu Tua. Saat ini populasi mereka sekitar 6500 jiwa, dan sekitar 900 jiwa di antaranya bermukim di dalam kawasan Taman Nasional.

Warga Suku Talang Mamak kerap menyebut dirinya suku Taha, atau kerap juga menyebut dirinya sebagai Langkah Lama. Mereka meyakini Adat Talang Mamak sebagai agama kepercayaan warganya. Dan, mereka akan menyebutkan suku Melayu atau Langkah Baru bagi warga suku Talang Mamak yang menganut agama di luar kepercayaannya.

Suku Talang Mamak teramat dekat dengan hutan. Catatan antropologi memang menempatkannya sebagai orang yang senantiasa bermukim di tengah hutan. Sejak zaman para leluhurnya. Karena itu, kerap mereka menyebut dirinya dengan istilah “awak Urang Utan”. Karena, mereka menggantungkan semua kebutuhan hidupnya dari hutan. Mereka manfaatkan apa-apa yang ada di dalam hutan, untuk mencukupi hajat hidupnya. Hutan adalah surga nan tiada tara bagi mereka.

Di tengah surga yang dibangun ratusan tahun itu, sudah pasti, berkumpul individu-individu yang memahami betul makna bersabar dan bersyukur. Kata “bersabar”, bisa jadi, bukan menjadi kosa kata yang tidak terlalu popular atau sering diucapkan oleh mereka. Karena, mereka memang bukan orang-orang yang terlahir dengan jutaan keinginan, cita-cita, apalagi ambisi. Sehingga, mereka tidak perlu memikirkan persaingan atau kompetisi, serta akibat-akibatnya. Tapi, menggulirkan saja kehidupan dengan kesahajaan.

Sebaliknya, mereka justru begitu lekat dengan kata “bersyukur”. Pondasi bangunan hati mereka adalah bersyukur. Karena, mereka terlahir dan senantiasa dididik untuk menerima anugerah apa pun sebagai rezeki yang harus disyukuri. Penyerahan diri secara penuh kepada alam merupakan bukti ungkapan terima kasih dan syukur kepada Yang Mahamelimpahkan rezeki. Dan dengan pondasi bersyukur itu, mereka membentangkan kemuliaan bagi setiap warganya. Serta, tentu saja, menikmati surga yang telah disediakan olehNya.

Satu dari ratusan warga suku Talang Mamak yang harus senatiasa bersyukur itu adalah Pak Katak. Umurnya sekitar 70 tahun. Ia merupakan Kepala Dusun Datai di Kawasan Keritang, pedalaman Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Dan, ia pun merupakan kemantan (dukun) bagi warganya. Singkatnya cerita, Dusun Datai adalah surga bagi Pak Katak dan warga suku Talang Mamak lainnya.

Namun jangan membayangkan lokasinya dekat dan mudah dijangkau. Paling tidak dibutuhkan waktu dua hari dengan perjalanan kaki untuk mencapainya. Itu pun harus siap menanggung medan berat di lahan-lahan eks pembalakan atau hutan yang masih perawan. Dan, hanya dengan kenekatan yang teramat-sangat, kita bisa mendapati kehidupan suku Talang Mamak di tempat tersebut.

Namun, jauh sebelum surga yang sekarang terbentang, Pak Katak dan warganya juga pernah dihadang persoalan besar juga. Persisnya, ketika para pemegang HPH “menguliti” hutannya. Atas nama kepentingan kelompok tertentu dan dengan kekuasaan yang dasyat, mereka menggusur lokasi-lokasi pemukiman warga suku Talang Mamak dengan suka cita. Pak Katak dan warganya termasuk salah satu korbannya.

Sebagai masyarakat adat yang memang terbiasa untuk bersyukur, maka ujian itu pun tetap saja dianggapnya anugerah. Tidak ada kata cobaan, ujian, teguran, atau hidayah. Tapi, hanya ada dua kata yang selalu mereka ingat dan diucapkan “anugerah” dan “rezeki”. Karena itu, mereka pun tidak berpikir terlalu pelik atas “anugerah” yang didapatnya itu. Mereka lebih memilih menghindar ke lokasi lain sebagai reaksi atas peristiwa tersebut.

Setelah itu, mereka pun membangun surga baru di lokasi yang didatanginya, dengan pola hidup yang tidak berubah; tetap menggantungkan segala-galanya pada hutan. Serta merangkai kembali pondasi-pondasi bersyukur di setiap bangunan hati. Pak Katak dan warganya memang hanya memiliki bahan baku “bersyukur”. Dan, hanya dengan bahan baku itulah ia membangun kemuliaan dan surga.

Di masa sekarang, mereka sudah makin terbuka dengan warga di luar sukunya. Mereka sudah bisa berhubungan dengan masyarakat di wilayah atau para pendatang yang menyinggahi kampung mereka. Mereka memang masyarakat yang ramah dan mudah berinteraksi dengan siapa pun.

Setiap pagi, kaum lelaki di Dusun Datai – termasuk pak Katak – pergi ke dalam hutan, untuk mengumpulkan jernang atau gaharu, atau berladang. Kelak hasil bumi tersebut dijual ke desa lain. Setelah itu, hasilnya mereka gunakan untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari. Terutama, lauk-pauk.

Meskipun sebagian besar hidupnya bergantung pada hutan, ternyata mereka memegang teguh amanah untuk menjaga bagian-bagian tertentu sebagai kawasan terlarang. Maksudnya, adalah menjaga keseimbangan ekosistem dan memelihara makna kearifan lokal. Mereka memang menyerahkan jiwa-raganya pada hutan. Sebuah bentuk kepasrahan nan tiada tara. []


Aksi

Information

Satu tanggapan

20 05 2008
puang

salam berpikir merdeka dari bandung
maafkan aku, artikelmu menggungga jiwaku, jangan tanya kenapa

Tinggalkan komentar